Masa Kecil Wanda……
Selama saya masih kecil itu, saya dirawat sama
oma dan opa saya. Saya pikir waktu itu, oma dan opa itu adalah orang tua saya.
Disaat saya mulai duduk di bangku SMP, saya mulai dengar cerita dari oma saya
sendiri bahwa orang tua saya ada di Jakarta.
Awalnya mulai timbul rasa dendam. Saya pikir kok
saya hanya dibuang seperti itu saja. Saya mulai tumbuh sebagai anak yang
kondisinya labil. Rasa minder mulai muncul. Nah disitu saya mulai merasakan
bahwa saya harus mengembalikan rasa percaya diri saya dengan cara mencari orang
tua.
Pertemuan dengan sang ibu
Waktu perjalanan itu saya senang banget karena
mau ketemu ibu. Dengan pikiran bahwa kasih sayang seorang ibu akan segera saya
dapatkan. Pas waktu ketemu itu ada papa tiri saya dan 3 adek tiri yang masih
kecil, dan mama. Mulai saya peluk dia dan saya pikir ini dia mama saya yang
sesungguhnya. Mama mulai ada perhatian kepada saya secara pribadi. Tapi setelah
satu dan dua minggu didalam suasana rumah itu saya mulai rasakan ada yang
kurang. Saya merasa tertekan dan sangat tidak nyaman dengan kondisi di rumah
Saya mulai berpikir kenapa saya dibedakan dari
adek-adek saya yang lain. Sampai titik tertentu saya mulai tidak kuat sehingga
akhirnya saya pergi dari rumah. Saya berpikir, saya di Jakarta harus hidup sama
siapa? Sementara mama saya sendiri tidak memberi uang pada saya. Saya sempat
pikir kalau keluarga saya seperti ini, kenapa saya tidak melakukan hal yang
lebih parah saja? Mungkin saya bisa jual diri! Intinya agar saya bisa
melampiaskan emosi saya, dengan melakukan hal-hal itu. Tapi nggak tahu kenapa,
ada saja halangan yang membuat saya tidak bisa melakukan hal seperti itu.
Mendapat tempat tinggal baru
Margaretha (tante): Dia diantara oleh om-nya ke
rumah saya di Cililitan, dan mereka menitip Wanda dirumah saya. Jadi walaupun
saya hidup pas-pasan, tapi saya mau dia tinggal di rumah. Saya lihat tidak
pernah ibunya bertanya pada saya keadaan Wanda itu seperti apa. Jadi Wanda itu
tinggal dengan saya kurang lebih 12 tahun. Disitu, Wanda juga punya kerinduan
untuk mencari papanya.
Mencari jejak sang ayah
Pas pulang ke Menado diakhir tahun 2000, saya
mulai cari informasi. Dan melalui berbagai informasi yang saya dapatkan dari
saudara-saudara akhirnya saya berangkat ke Jogya dengan ditemani seorang teman
saya. Di sana kami berhasil menemui salah seorang saudara kandung ayah saya.
Saya menyatakan kerinduan saya untuk bertemu dengan ayah saya. Dari Oom saya
itu, saya mendapatkan informasi bahwa ayah saya ada di Pemalang dan sudah
berkeluarga lagi. Namun mereka tidak bersedia memberitahukan nomor telepon ayah
kepada saya. Akhirnya kami kembali ke hotel lagi.
Setibanya di hotel, saya berdoa “Tuhan, saya
sudah datang jauh-jauh untuk bertemu dengan ayah. Meskipun dia tidak pernah
mencari saya selama ini. Meskipun secara materi dia tidak pernah memenuhi
kebutuhanku. Tapi saya rindu untuk bertemu dengannya. Kalau Tuhan izinkan, saya
tidak tahu bagaimana caranya, saya ingin ketemu dengan ayah saya, Tuhan.”
Kemudian kamipun kembali lagi ke Jakarta dengan tangan hampa.
Kejutan dari sang ayah
Beberapa hari setelah saya sampai di Jakarta,
seseorang yang belum pernah saya dengar suaranya sebelumnya menelepon saya.
Ketika saya bertanya siapa ini, beliau tidak memperkenalkan namanya. Namun dia
mengenal saya dan bertanya gimana khabar saya sambil berkata, “Wanda kemarin ke
Jogya yah?” Akhirnya saya tiba-tiba seperti tersadar bahwa yang sedang
berbicara dengan saya itu adalah ayah saya. Rupanya Oom saya yang tinggal di
Jogya itu memberitahukan nomor telepon saya kepada ayah. Perasaan saya waktu
itu senang, namun saya bingung harus ngomong apa, mulai dari mana dan harus
memanggil apa? Kemudian saya panggil dia dengan sebutan “Bapak.” Pembicaraan
kami hanya singkat saya waktu itu.
Singkat cerita kami bertemu November 2002 di
Jakarta. Dia bilang dia minta maaf karena tidak bisa membiayai saya, untuk apa
yang menjadi kebutuhan saya. Dia mulai bercerita latar belakang mengapa bisa
begitu. Ada juga latar belakang perbedaan agama juga. Mereka tidak direstuin
oleh masing-masing kedua belah pihak. Pas pulang dia bilang “kamu nggak usah
cari saya lagi”. Pesan itu menambah luka dihati. Bukannya dia menguatkan saya,
dia malah membuat saya drop banget.
Ayah menolak, Ibu mengecewakan
Waktu itu mama minta maaf sama saya karena
muncul dari mulut saya kata “mama”. Kita berdoa bersama-sama dan dia sampai
menangis dan memeluk Wanda dan minta maaf. Tapi selanjutnya yang saya lihat,
dia tidak pernah lagi memperhatikan. Pernah ke rumahnya di Pondok Gede, pintu
tidak dibukakan padahal dia ada didalam.
Saya pikir, lho bukannya mama sudah masuk ke
pelayanan? Kok bisa begitu lagi? Itu bikin aku sakit banget. Yang lebih
menyakitkan saya waktu saya sakit. Om saya kasih tau ke mama saya bahwa saya
sakit. Tapi dia tidak datang. Itu jadi trauma banget sama saya, kenapa lagi dia
seperti itu. Diluar, dia juga tidak pernah anggap Wanda anaknya. Dia selalu
katakan bahwa Wanda itu keponakannya.
Apa reaksi terakhir Wanda?
Hal yang tidak pernah terlintas di dalam pikiran
saya. Tuhan memelihara kehidupan saya dengan cara yang luar biasa. Meskipun
saya tidak mendapatkan kasih sayang dari ayah dan ibu saya, namun Tuhan
mengasihi saya dengan kasih yang sempurna. Sampai hari ini hidup saya
dipelihara Tuhan. Tuhan punya rencana dan tujuanNya di dalam hidup saya. Kalau
papa bisa ke Jakarta, kita rindu bertemu dengan dia supaya bisa saling
memaafkan satu sama lain. Masa lalu biar jadi masa lalu. Saya rindu kita kumpul
bersama walau mereka sudah punya keluarga masing-masing. Saya hanya rindu kita
saling memaafkan satu sama lain. Itulah kerinduan saya.
Mazmur 27:10 “Sekalipun ayahku dan ibuku
meninggalkan aku, namun TUHAN menyambut aku”
[ Sumber: Wanda - Facebook Pelaku Firman]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar