Menulis
pada 29 Juni 2009 jam 11:58
Jim Caviezel adalah aktor Hollywood yang memerankan Tuhan Yesus dalam Film “The Passion Of the Christ”.
Berikut refleksi atas perannya di film itu.
Jim Caviezel adalah aktor Hollywood yang memerankan Tuhan Yesus dalam Film “The Passion Of the Christ”.
Berikut refleksi atas perannya di film itu.
JIM
CAVIEZEL ADALAH SEORANG AKTOR BIASA DENGAN PERAN2 KECIL DALAM FILM2
YANG JUGA TIDAK BESAR. PERAN TERBAIK YANG PERNAH DIMILIKINYA (SEBELUM
THE PASSION) ADALAH SEBUAH FILM PERANG YANG BERJUDUL “ THE THIN RED
LINE”. ITUPUN HANYA SALAH SATU PERAN DARI BEGITU BANYAK AKTOR BESAR
YANG BERPERAN DALAM FILM KOLOSAL ITU.
Dalam
Thin Red Line, Jim berperan sebagai prajurit yang berkorban demi
menolong teman-temannya yang terluka dan terkepung musuh, ia berlari
memancing musuh kearah yang lain walaupun ia tahu ia akan mati, dan
akhirnya musuhpun mengepung dan membunuhnya. Kharisma kebaikan,
keramahan, dan rela berkorbannya ini menarik perhatian Mel Gibson,
yang sedang mencari aktor yang tepat untuk memerankan konsep film
yang sudah lama disimpannya, menunggu orang yang tepat untuk
memerankannya.
“Saya
terkejut suatu hari dikirimkan naskah sebagai peran utama dalam
sebuah film besar. Belum pernah saya bermain dalam film besar apalagi
sebagai peran utama. Tapi yang membuat saya lebih terkejut lagi
adalah ketika tahu peran yang harus saya mainkan. Ayolah…, Dia ini
Tuhan, siapa yang bisa mengetahui apa yang ada dalam pikiran Tuhan
dan memerankannya? Mereka pasti bercanda.
Besok
paginya saya mendapat sebuah telepon, “Hallo ini, Mel”. Kata
suara dari telpon tersebut. “Mel siapa?”, Tanya saya bingung.
Saya tidak menyangka kalau itu Mel Gibson, salah satu actor dan
sutradara Hollywood yang terbesar. Mel kemudian meminta kami bertemu,
dan saya menyanggupinya.
Saat
kami bertemu, Mel kemudian menjelaskan panjang lebar tentang film
yang akan dibuatnya. Film tentang Tuhan Yesus yang berbeda dari film2
lain yang pernah dibuat tentang Dia. Mel juga menyatakan bahwa akan
sangat sulit dalam memerankan film ini, salah satunya saya harus
belajar bahasa dan dialek alamik, bahasa yang digunakan pada masa
itu.
Dan
Mel kemudian menatap tajam saya, dan mengatakan sebuah resiko
terbesar yang mungkin akan saya hadapi. Katanya bila saya memerankan
film ini, mungkin akan menjadi akhir dari karir saya sebagai actor di
Hollywood.
Sebagai
manusia biasa saya menjadi gentar dengan resiko tersebut. Memang
biasanya aktor pemeran Yesus di Hollywood, tidak akan dipakai lagi
dalam film-film lain. Ditambah kemungkinan film ini akan dibenci oleh
sekelompok orang Yahudi yang berpengaruh besar dalam bisnis
pertunjukan di Hollywood . Sehingga habislah seluruh karir saya dalam
dunia perfilman.
Dalam
kesenyapan menanti keputusan saya apakah jadi bermain dalam film itu,
saya katakan padanya. “Mel apakah engkau memilihku karena inisial
namaku juga sama dengan Jesus Christ (Jim Caviezel), dan umurku
sekarang 33 tahun, sama dengan umur Yesus Kristus saat Ia
disalibkan?” Mel menggeleng setengah terperengah, terkejut,
menurutnya ini menjadi agak menakutkan. Dia tidak tahu akan hal itu,
ataupun terluput dari perhatiannya. Dia memilih saya murni karena
peran saya di “Thin Red Line”. Baiklah Mel, aku rasa itu bukan
sebuah kebetulan, ini tanda panggilanku, semua orang harus memikul
salibnya. Bila ia tidak mau memikulnya maka ia akan hancur tertindih
salib itu. Aku tanggung resikonya, mari kita buat film ini!
Maka
saya pun ikut terjun dalam proyek film tersebut. Dalam persiapan
karakter selama berbulan-bulan saya terus bertanya-tanya, dapatkah
saya melakukannya? Keraguan meliputi saya sepanjang waktu. Apa yang
seorang Anak Tuhan pikirkan, rasakan, dan lakukan.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut membingungkan saya, karena begitu
banya referensi mengenai Dia dari sudut pandang berbeda-beda.
Akhirnya
hanya satu yang bisa saya lakukan, seperti yang Yesus banyak lakukan
yaitu lebih banyak berdoa. Memohon tuntunanNya melakukan semua ini.
Karena siapalah saya ini memerankan Dia yang begitu besar. Masa lalu
saya bukan seorang yang dalam hubungan denganNya. Saya memang lahir
dari keluarga Katolik yang taat, kebiasaan-kebiasaan baik dalam
keluarga memang terus mengikuti dan menjadi dasar yang baik dalam
diri saya.
Saya
hanyalah seorang pemuda yang bermain bola basket dalam liga SMA dan
kampus, yang bermimpi menjadi seorang pemain NBA yang besar. Namun
cedera engkel menghentikan karir saya sebagai atlit bola basket. Saya
sempat kecewa pada Tuhan, karena cedera itu, seperti hancur seluruh
hidup saya.
Saya
kemudian mencoba peruntungan dalam casting-casting, sebuah peran
sangat kecil membawa saya pada sebuah harapan bahwa seni peran munkin
menjadi jalan hidup saya. Kemudian saya mendalami seni peran dengan
masuk dalam akademi seni peran, sambil sehari-hari saya terus
mengejar casting.
Dan
kini saya telah berada dipuncak peran saya. Benar Tuhan, Engkau yang
telah merencanakan semuanya, dan membawaku sampai disini. Engkau yang
mengalihkanku dari karir di bola basket, menuntunku menjadi aktor,
dan membuatku sampai pada titik ini. Karena Engkau yang telah
memilihku, maka apapun yang akan terjadi, terjadilah sesuai
kehendakMu.
Saya
tidak membayangkan tantangan film ini jauh lebih sulit dari pada
bayangan saya.
Di
make-up selama 8 jam setiap hari tanpa boleh bergerak dan tetap
berdiri, saya adalah orang satu-satunya di lokasi syuting yang hampir
tidak pernah duduk. Sungguh tersiksa menyaksikan kru yang lain
duduk-duduk santai sambil minum kopi. Kostum kasar yang sangat tidak
nyaman, menyebabkan gatal-gatal sepanjang hari syuting membuat saya
sangat tertekan. Salib yang digunakan, diusahakan seasli mungkin
seperti yang dipikul oleh Yesus saat itu. Saat mereka meletakkan
salib itu dipundak saya, saya kaget dan berteriak kesakitan, mereka
mengira itu akting yang sangat baik, padahal saya sungguh-sungguh
terkejut. Salib itu terlalu berat, tidak mungkin orang biasa
memikulnya, namun saya mencobanya dengan sekuat tenaga.
Yang
terjadi kemudian setelah dicoba berjalan, bahu saya copot, dan tubuh
saya tertimpa salib yang sangat berat itu. Dan sayapun melolong
kesakitan, minta pertolongan. Para kru mengira itu akting yang luar
biasa, mereka tidak tahu kalau saya dalam kecelakaan sebenarnya. Saat
saya memulai memaki, menyumpah dan hampir pingsan karena tidak tahan
dengan sakitnya, maka merekapun terkejut, sadar apa yang sesungguhnya
terjadi dan segera memberikan saya perawatan medis.
Sungguh
saya merasa seperti setan karena memaki dan menyumpah seperti itu,
namun saya hanya manusia biasa yang tidak biasa menahannya. Saat
dalam pemulihan dan penyembuhan, Mel datang pada saya. Ia bertanya
apakah saya ingin melanjutkan film ini, ia berkata ia sangat mengerti
kalau saya menolak untuk melanjutkan film itu. Saya bekata pada Mel,
saya tidak tahu kalau salib yang dipikul Tuhan Yesus seberat dan
semenyakitkan seperti itu. Tapi kalau Tuhan Yesus mau memikul salib
itu bagi saya, maka saya akan sangat malu kalau tidak memikulnya
walau sebagian kecil saja. Mari kita teruskan film ini. Maka mereka
mengganti salib itu dengan ukuran yang lebih kecil dan dengan bahan
yang lebih ringan, agar bahu saya tidak terlepas lagi, dan mengulang
seluruh adegan pemikulan salib itu. Jadi yang penonton lihat didalam
film itu merupakan salib yang lebih kecil dari aslinya.
Bagian
syuting selanjutnya adalah bagian yang mungkin paling mengerikan,
baik bagi penonton dan juga bagi saya, yaitu syuting penyambukan
Yesus. Saya gemetar menghadapi adegan itu, Karena cambuk yang
digunakan itu sungguhan. Sementara punggung saya hanya dilindungi
papan setebal 3 cm. Suatu waktu para pemeran prajurit Roma itu
mencambuk dan mengenai bagian sisi tubuh saya yang tidak terlindungi
papan. Saya tersengat, berteriak kesakitan, bergulingan ditanah
sambil memaki orang yang mencambuk saya. Semua kru kaget dan segera
mengerubungi saya untuk memberi pertolongan.
Tapi
bagian paling sulit, bahkan hampir gagal dibuat yaitu pada bagian
penyaliban. Lokasi syuting di Italia sangat dingin, sedingin musim
salju, para kru dan figuran harus manggunakan mantel yang sangat
tebal untuk menahan dingin. Sementara saya harus telanjang dan
tergantung diatas kayu salib, diatas bukit yang tertinggi disitu.
Angin dari bukit itu bertiup seperti ribuan pisau menghujam tubuh
saya. Saya terkena hypothermia (penyakit kedinginan yang biasa
mematikan), seluruh tubuh saya lumpuh tak bisa bergerak, mulut saya
gemetar bergoncang tak terkendalikan. Mereka harus menghentikan
syuting, karena nyawa saya jadi taruhannya.
Semua
tekanan, tantangan, kecelakaan dan penyakit membawa saya sungguh
depresi. Adegan-adegan tersebut telah membawa saya kepada batas
kemanusiaan saya. Dari adegan-keadegan lain semua kru hanya menonton
dan menunggu saya sampai pada batas kemanusiaan saya, saat saya tidak
mampu lagi baru mereka menghentikan adegan itu. Ini semua membawa
saya pada batas-batas fisik dan jiwa saya sebagai manusia. Saya
sungguh hampir gila dan tidak tahan dengan semua itu, sehingga
seringkali saya harus lari jauh dari tempat syuting untuk berdoa.
Hanya untuk berdoa, berseru pada Tuhan kalau saya tidak mampu lagi,
memohon Dia agar memberi kekuatan bagi saya untuk melanjutkan
semuanya ini. Saya tidak bisa, masih tidak bisa membayangkan
bagaimana Yesus sendiri melalui semua itu, bagaimana menderitanya
Dia. Dia bukan sekedar mati, tetapi mengalami penderitaan luar biasa
yang panjang dan sangat menyakitkan, bagi fisik maupun jiwaNya.
Dan
peristiwa terakhir yang merupakan mujizat dalam pembuatan film itu
adalah saat saya ada diatas kayu salib. Saat itu tempat syuting
mendung gelap karena badai akan datang, kilat sambung menyambung
diatas kami. Tapi Mel tidak menghentikan pengambilan gambar, karena
memang cuaca saat itu sedang ideal sama seperti yang seharusnya
terjadi seperti yang diceritakan. Saya ketakutan tergantung diatas
kayu salib itu, disamping kami ada dibukit yang tinggi, saya adalah
objek yang paling tinggi, untuk dapat dihantam oleh halilintar. Baru
saja saya berpikir ingin segera turun karena takut pada petir, sebuah
sakit yang luar biasa menghantam saya beserta cahaya silau dan suara
menggelegar sangat kencang (setan tidak senang dengan adanya
pembuatan film seperti ini). Dan sayapun tidak sadarkan diri.
Yang
saya tahu kemudian banyak orang yang memanggil-manggil meneriakkan
nama saya, saat saya membuka mata semua kru telah berkumpul
disekeliling saya, sambil berteriak-teriak “dia sadar! dia sadar!”
(dalam kondisi seperti ini mustahil bagi manusia untuk bisa selamat
dari hamtaman petir yang berkekuatan berjuta-juta volt kekuatan
listrik, tapi perlindungan Tuhan terjadi disini).
“Apa
yang telah terjadi?” Tanya saya. Mereka bercerita bahwa sebuah
halilintar telah menghantam saya diatas salib itu, sehingga mereka
segera menurunkan saya dari situ. Tubuh saya menghitam karena hangus,
dan rambut saya berasap, berubah menjadi model Don King. Sungguh
sebuah mujizat kalau saya selamat dari peristiwa itu.
Melihat
dan merenungkan semua itu seringkali saya bertanya, “Tuhan, apakah
Engkau menginginkan film ini dibuat? Mengapa semua kesulitan ini
terjadi, apakah Engkau menginginkan film ini untuk dihentikan”?
Namun saya terus berjalan, kita harus melakukan apa yang harus kita
lakukan. Selama itu benar, kita harus terus melangkah. Semuanya itu
adalah ujian terhadap iman kita, agar kita tetap dekat padaNya,
supaya iman kita tetap kuat dalam ujian.
Orang-orang
bertanya bagaimana perasaan saya saat ditempat syuting itu memerankan
Yesus. Oh… itu sangat luar biasa… mengagumkan… tidak dapat saya
ungkapkan dengan kata-kata. Selama syuting film itu ada sebuah
hadirat Tuhan yang kuat melingkupi kami semua, seakan-akan Tuhan
sendiri berada disitu, menjadi sutradara atau merasuki saya
memerankan diriNya sendiri.
Itu
adalah pengalaman yang tak terkatakan. Semua yang ikut terlibat dalam
film itu mengalami lawatan Tuhan dan perubahan dalam hidupnya, tidak
ada yang terkecuali. Pemeran salah satu prajurit Roma yang mencambuki
saya itu adalah seorang muslim, setelah adegan tersebut, ia menangis
dan menerima Yesus sebagai Tuhannya. Adegan itu begitu menyentuhnya.
Itu sungguh luar biasa. Padahal awalnya mereka datang hanya karena
untuk panggilan profesi dan pekerjaan saja, demi uang. Namun
pengalaman dalam film itu mengubahkan kami semua, pengalaman yang
tidak akan terlupakan.
Dan
Tuhan sungguh baik, walaupun memang film itu menjadi kontroversi.
Tapi ternyata ramalan bahwa karir saya berhenti tidak terbukti.
Berkat Tuhan tetap mengalir dalam pekerjaan saya sebagai aktor.
Walaupun saya harus memilah-milah dan membatasi tawaran peran sejak
saya memerankan film ini.
Saya
harap mereka yang menonton The Passion Of Jesus Christ, tidak melihat
saya sebagai aktornya. Saya hanyalah manusia biasa yang bekerja
sebagai aktor, jangan kemudian melihat saya dalam sebuah film lain
kemudian mengaitkannya dengan peran saya dalam The Passion dan
menjadi kecewa.
Tetap
pandang hanya pada Yesus saja, dan jangan lihat yang lain. Sejak
banyak bergumul berdoa dalam film itu, berdoa menjadi kebiasaan yang
tak terpisahkan dalam hidup saya. Film itu telah menyentuh dan
mengubah hidup saya, saya berharap juga hal yang sama terjadi pada
hidup anda. Amin.
“TUHAN
YESUS MEMBERKATI KITA SEMUA”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar